Selasa, 26 Agustus 2014

Enam Belas Tahun Tragedi Mei Berdarah (Dari Trisakti Hingga Kerusuhan Mei 1998)


            Enam belas tahun sudah Indonesia meraih reformasi yang diimpikan banyak pihak. Meninggalkan bekas yang tampak terlihat sangat jelas, mulai dari perubahan sistem hingga kehidupan masyarakatnya. Juga meninggalkan bekas luka yang amat dalam bagi bangsa ini sendiri. Indonesia berada pada masa sulit dan mencekam pada saat itu. Catatan sejarah menuliskan betapa mencekamnya peristiwa yang terjadi di beberapa kota besar di Indonesia itu. Mei 1998, sejarah dunia mencatat gejolak di Indonesia. Gejolak yang berujung pada jatuhnya Presiden Soeharto. Aksi kerusuhan massa, penjarahan, dan pemerkosaan juga berlangsung dengan brutal. Reformasi terus bergulir, namun pemicu kerusuhan yang sebenarnya masih bersembunyi di balik debu. Tanda Tanya masih melekat di balik peristiwa yang memakan banyak korban yang tak berdosa. Gambaran betapa kelamnya sebuah negara yang masih muda dan memulai untuk berkembang. Indonesia menjadi sorotan dan perbincangan dunia.
‘’SEPULUH hari yang mengoyak Indonesia.’’ Kisah ini dimulai bergeraknya jarum jam pada 12 Mei. Jarum jam itu berhenti ketika 4 mahasiswa Universitas Trisakti, Jakarta, ditembak mati oleh oknum aparat keamanan ketika terjadi demonstrasi mahasiswa. Dalam tempo 24 jam, insiden penembakan itu membakar amarah massa. Di tengah situasi itu pula, sebuah program anti-Cina dilancarkan. Warga keturunan Cina berlarian meninggalkan ibu kota. Jakarta tidak ubahnya sebuah ‘’zona perang.’’ Ujung-ujungnya, Presiden Soeharto pun dipaksa mundur. Tetapi, arah nasib bangsa ini pun belum jelas. Apa yang dicita-citakan jelas dalam UUD 1945 dan Pancasila menemui jalan terjal.
Sejarah Indonesia memang beberapa kali mencatat noda hitam aksi kekerasan. Namun, siapa penggeraknya, hampir tidak pernah diidentifikasi secara jelas. Itulah sosok-sosok ‘’pemimpin bayangan’’. Siapa mereka, tidak seorang pun berani membuka mulut. Sebab, mereka adalah orang-orang superkuat, yang hukum pun seolah anti menjamahnya.
Kali ini, insiden Trisakti itu memberikan gambaran riil. Dua orang oknum polisi diajukan ke pengadilan militer sebagai pesakitan. Tetapi, benarkah mereka pelakunya? Jujur saja, sebagian rakyat Indonesia percaya bahwa para terdakwa itu hanya ‘’kambing hitam’’. Pengadilan militer itu hanya bagian sebuah upaya melindungi kepentingan militer yang lebih besar.
Hasil investigasi dari sebuah majalah di Asia – termasuk wawancara dengan beberapa perwira militer, pengacara, aktivis hak asasi manusia (HAM), para korban, dan saksi mata– menyimpulkan, penembakan Trisakti, kerusuhan, penjarahan, dan aksi pemerkosaan terhadap para wanita Cina itu benar-benar sudah direncanakan. Di antara bukti yang didapat selama investigasi itu adalah hilangnya empat perwira polisi lengkap dengan seragamnya beberapa hari sebelum penembakan itu terjadi. Lagi pula, peluru yang diambil dari tubuh korban Trisakti itu bukanlah peluru resmi milik kepolisian. Belum cukup di situ. Bukti lain menyatakan bahwa dua orang lelaki, yang kini dalam persembunyian, mengakui bahwa mereka sengaja direkrut untuk memancing kerusuhan. Bahkan, sumber-sumber militer mengatakan bahwa untuk kali pertama mereka berhasil menyadap arus komunikasi beberapa markas AD di Jakarta dengan kelompok-kelompok provokator pada 14 Mei lalu.
Pertanyaannya, bila kerusuhan itu sengaja digerakkan, tentu pasti ada dalangnya. Identitas si dalang ini memang tidak pernah gamblang. Namun, salah seorang yang disebut-sebut terkait dengan serangkaian aksi kerusuhan itu adalah menantu Soeharto, Letjen TNI Prabowo Subianto, yang saat itu menjabat Pangkostrad. Bahkan, beberapa kalangan menilai, keterlibatan Prabowo itu sudah kelewat jelas. Tanda tanya besar masih simpang siur diperbincangkan banyak orang. Siapa sesungguhnya dalang peristiwa berdarah itu belum jelas. Pertanyaan baru kemudian muncul silih berganti tanpa jeda. Bangsa yang susah payah dibangun dan terbebas dari penjajahan ini malah terjajah oleh tangan-tangan orang dalam bangsa ini. Kebenaran sesungguhnya memang belum terkuak. Keempat mahasiswa yang menjadi korban penembakan tersebut juga menunggu keadilan.
Semua bangsa boleh memiliki sejarah kelam, dan dari sejarah kelam tersebut menjadi sebuah pelajaran berharga untuk masa depan bangsanya dalam menata pemerintahan juga masyarakatnya.








                                                                                                          Anonim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar