Bertepatan
dengan momentum hari Kartini yang baru saja kita peringati tanggal 21 April
kemarin, membuat kita kembali mengingat dengan persoalan perempuan yang hingga
saat ini tak kunjung usai. Di era globalisasi ini, perempuan juga dituntut
untuk berperan aktif dalam hal politik, pendidikan dan ekonomi khususnya.
Tuntutan dalam hal ekonomi sudah tidak dapat dielakkan lagi, namun realitas
yang terjadi dijaman sekarang tak ubahnya seperti jaman jahiliyah, yang masih
memperlakukan perempuan dengan tidak manusiawi. Mungkin hanya caranya yang
berbeda, dahulu apabila ada seorang ibu yang melahirkan anak perempuan, itu
adalah sebuah aib dan haruslah anak itu dikubur hidup-hidup.Layak kiranya kita sebut
neo-jahiliyah. Kita berkaca pada Marsinah, buruh perempuan yang menggetarkan
rejim dan membuat kita sadar betapa termajinalkannya status perempuan. Dijaman
sekarang saja, ada sekitar 80% dari buruh adalah seorang perempuan. Dan 75% dari perempuan itu pernah mengalami
kekerasan seksual. Bagaimana tidak ngeri ketika harus mendengar diberbagai
surat kabar bahwa setiap harinya selalu terjadi pelecehan seksual ataupun
kekerasan yang dilakukan majikan terhadap buruh perempuan, dan itu juga banyak
terjadi di negeri kita sendiri. Dengan eksploitasi upah minim, tidak ada
jaminan kesehatan ataupun jaminan sosial, para buruh perempuan masih harus
mendapatkan perlakuan yang sewenang-wenang.
Terlepas
dari buruh perempuan di negeri kita sendiri, baru-baru ini santer memanas isu
nasional yang menyoalkan Satinah. Satinah adalah Tenaga Kerja Wanita (TKI)
indonesia yang terancam hukuman pancung di Arab Saudi. Berawal dari ketidaktahanan dengan perlakukan
kasar yang berkali-kali diterima dari majikannya, Nura Al Gharib, akhirnya pada
2007 Satinah melawan hingga terjadi
peristiwa pembunuhan. Satinah langsung menyerahkan diri ke kantor polisi
setempat untuk mengakui perbuatannya. Satinah juga dikenai pasal perampokan
karena dianggap melarikan uang majikan sebesar 37.970 riyal hingga Satinah
diadili pada 2009-2010. Rencananya, Satinah
akan dieksekusi pemerintah Saudi pada April mendatang. Eksekusi dapat batalkan
jika pemerintah Indonesia mampu membayar uang denda sebesar Rp21 miliar. Namun Pro
dan kontra masih membanjir terkait keputusan pemerintah untuk membayarkan diyat
(uang darah) demi menyelamatkan nyawa TKI Satinah binti Jumadi Ahmad.
Masalahnya sekarang, masih ada lebih dari 200 kasus yang hampir sama yang
terjadi pada TKI. Apakah pemerintah berniat membayar semua uang diyat tersebut?
Tugas pemerintah sekarang adalah menciptakan hukum untuk melindungi para TKI di
luar negeri. Dimanakah peran pemerintah dalam perlindungan warganya ? Satinah
adalah satu diantara ratusan kasus yang dialami oleh TKI kita. Tidak dapat
menyediakan lapangan kerja yang cukup bagi rakyatnya, sehingga banyak yang
mencari pekerjaan di luar negeri, sudah merupakan suatu kesalahan yang
dilakukan pemerintah. Apalagi jika pemerintah tidak bisa melindungi para
pekerja yang dianggap sebagai penyumbang devisa terbesar bagi negara.Dimanakah
peran pemerintah ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar