“HAMPIR
setiap keluarga di Indies memiliki seorang nyai
pada generasi sebelumnya, seorang nenek moyang pribumi,” tulis Reggie Baay di
bagian akhir bukunya Nyai dan
Pergundikan di Hindia Belanda. “Tapi masih ada beberapa orang yang
tetap diam, seolah-olah kehadirannya memalukan.”
Putri
Laurentien, istri Pangeran Constatijn –putra bungsu Ratu Beatrix yang kini
memerintah Belanda, tak terkecuali. Darah Indo mengalir dari kakek buyutnya,
Peter Schön, seorang kapten kapal, yang hidup dengan seorang nyai bernama
Mankam, perempuan pribumi asal Bali. Menurut
wartawan Theo Haerkens dalam artikel berjudul “Laurentien Staat Symbol voor Emancipatie Indo”, dimuat
di situs http://gpdhome.typepad.com/boeken_royalblognl,
status sebagai seorang nyai-lah yang membuat Mankam terbunuh pada 1830. Nyai
memiliki citra negatif, yang terutama dilanggengkan oleh karya sastra dan
pandangan penguasa koloni atau kolonial masa itu. Padahal kebiasaan seorang
lelaki asing mengambil perempuan pribumi bukan hal baru; ia sudah ada sebelum
zaman prakolonial. Dalam Being
Dutch in The Indies Ulbe Bosma dan Remco Raben mencatat bahwa
praktik itu tak bisa dilepaskan dari komunitas pedagang di kota-kota dagang
besar di Asia seperti Malaka dan Ayyuthaya. Di
Ayyuthaya, sejak abad ke-17, muncul permukiman
pendatang sesuai daerah asal mereka: Gujarat, Coromandel, Pegu, Malaka, Jawa,
China, Jepang, Portugis, Prancis, dan Belanda. Raja Thailand saat itu
membiarkan mereka menerapkan aturan dan hukum mereka di wilayah masing-masing.
Terciptalah sistem pemisahan yang oleh Bosma dan Raben disebut legal
pluralism.
Lazim
bagi para pedagang mengambil perempuan lokal sebagai mitra atau teman hidup.
Ikatan ini biasanya bersifat sementara; hanya bertahan selama si lelaki tinggal
di sana. Tapi, selain memperkenalkan kebiasaan lokal kepada pasangan, para
perempuan itu punya peran vital dalam proses perdagangan –biasanya bertindak
sebagai perantara. Banyak dari mereka juga pedagang. Di masa awal Asia modern,
keturunan mereka seringkali memegang posisi penting di kota-kota itu.
Inilah yang membedakannya dari VOC, dan kemudian
pemerintah kolonial Belanda, yang secara perlahan menurunkan status “nyai” dan
anak-anaknya. Penguasa menggunakan nyai atau pergundikan untuk memenuhi
kebutuhan pemerintah kolonial itu sendiri, tulis Ann Stoler dalam “Carnal Knowledge and Imperial Power”, yang masuk antologi
The Gender/ Sexuality Reader: Culture,
History, Political Economy karya
Roger N. Lancaster dan Micaela di Leonardo.
Meski tak terang-terangan, hidup tanpa ikatan dengan seorang perempuan pribumi dianjurkan. Buku panduan bagi para calon pegawai perkebunan yang akan dikirim ke Tonkin, Sumatra, dan Malaya mendorong para lelaki segera mencari seorang “pelayan sekaligus teman tidur” sebagai cara tercepat untuk beradaptasi. Hidup bersama seorang nyai akan mengajarkan adat, kebiasaan, dan bahasa setempat. Ini terutama terjadi ketika budidaya tanaman ekspor meledak pada 1870. Rene Maunier dalam Sociologie Coloniale, yang dikutip Leonard Blusse, Persekutuan Aneh, menulis bahwa pergundikan dalam banyak kasus adalah sebuah bentuk perbudakan, hubungan antara orang yang mendominasi dan yang didominasi. Ia sebuah relasi yang bersifat seksual antara sang penakluk dan yang ditaklukkan.
Meski tak terang-terangan, hidup tanpa ikatan dengan seorang perempuan pribumi dianjurkan. Buku panduan bagi para calon pegawai perkebunan yang akan dikirim ke Tonkin, Sumatra, dan Malaya mendorong para lelaki segera mencari seorang “pelayan sekaligus teman tidur” sebagai cara tercepat untuk beradaptasi. Hidup bersama seorang nyai akan mengajarkan adat, kebiasaan, dan bahasa setempat. Ini terutama terjadi ketika budidaya tanaman ekspor meledak pada 1870. Rene Maunier dalam Sociologie Coloniale, yang dikutip Leonard Blusse, Persekutuan Aneh, menulis bahwa pergundikan dalam banyak kasus adalah sebuah bentuk perbudakan, hubungan antara orang yang mendominasi dan yang didominasi. Ia sebuah relasi yang bersifat seksual antara sang penakluk dan yang ditaklukkan.
Berbagai
panggilan merendahkan diberikan masyarakat Eropa kepada para nyai, mulai inlandse huishoudster (pembantu
rumah tangga), meubel
(perabot), inventarrisstuk
(barang inventaris), boek (buku),
hingga woordenboek (kamus)
karena nyai berfungsi sebagai penerjemah suami dan/atau tuan mereka. Priyayi
Jawa, menurut Frances Gouda dalam Dutch
Cultures Overseas, juga
merendahkan gundik dan anak-anaknya: perempuan rendah dan kotor, menentang
aturan kesopanan Jawa, digerakkan nafsu birahi, tak bermoral, menjual kehormatan
demi kekayaan, pelacur, dan lain-lain. Secara hukum, seorang nyai tak
terlindungi. Lelaki Belanda dengan mudah bisa memutuskan ikatan dan si nyai
harus keluar dari “rumah tangganya”. Seorang nyai juga tak punya hak atas
anak-anaknya dan tak bisa menuntut perwalian –sekalipun suaminya meninggal
dunia. Anak-anak dari perkawinan itu juga menerima citra yang sama: percampuran
ras mengumpulkan sifat-sifat terburuk dari kedua
ras sehingga selalu menghasilkan karakter yang lemah.
Antara 1890 dan 1920 jumlah lelaki Eropa yang bermigrasi ke Hindia meningkat 200 persen, sedangkan perempuannya 300 persen. Kedatangan perempuan Eropa secara besar-besaran mengurangi simpati terhadap kawin campur. Menurut Ann Stoler, pada1920-an jajaran elit kolonial juga merasa perlu menegaskan lagi kriteria kelas-kelas masyarakat. Dari sisi politis mereka merasa prostitusi jauh lebih aman, dan kembali mendorong pernikahan sesama kulit putih sebagai cara menggantikan fenomena nyai dan pergundikan. Para Eropa totok membentuk lapisan atas masyarakat sementara para Indo makin gelisah dan malu dengan darah pribumi mereka. Lelaki yang hidup bersama nyai melakukannya secara diam-diam. Mereka tak akan makan bersama nyai mereka di meja makan, juga tak akan muncul di beranda depan, tempat yang kelihatan oleh umum. Nyai disalahkan karena lelaki Eropa makin hidup seperti inlander, dan menjauhkan lelaki Eropa dari jalan yang benar.
Antara 1890 dan 1920 jumlah lelaki Eropa yang bermigrasi ke Hindia meningkat 200 persen, sedangkan perempuannya 300 persen. Kedatangan perempuan Eropa secara besar-besaran mengurangi simpati terhadap kawin campur. Menurut Ann Stoler, pada1920-an jajaran elit kolonial juga merasa perlu menegaskan lagi kriteria kelas-kelas masyarakat. Dari sisi politis mereka merasa prostitusi jauh lebih aman, dan kembali mendorong pernikahan sesama kulit putih sebagai cara menggantikan fenomena nyai dan pergundikan. Para Eropa totok membentuk lapisan atas masyarakat sementara para Indo makin gelisah dan malu dengan darah pribumi mereka. Lelaki yang hidup bersama nyai melakukannya secara diam-diam. Mereka tak akan makan bersama nyai mereka di meja makan, juga tak akan muncul di beranda depan, tempat yang kelihatan oleh umum. Nyai disalahkan karena lelaki Eropa makin hidup seperti inlander, dan menjauhkan lelaki Eropa dari jalan yang benar.
Pada
1925, sedikitnya lebih dari seperempat perkawinan resmi di Hindia adalah
perkawinan campuran. Bahkan, sebagaimana ditulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya,
terlihat beberapa perkawinan antara lelaki Indonesia
dan perempuan Eropa. Contoh terbaik adalah Dr Soetomo yang menikah dengan
seorang janda berkebangsaan Belanda dan Sjahrir yang menikahi Maria Duchateau.
Jumlah perkawinan campuran mencapai 150.000 menjelang kemerdekaan. Pascakemerdekaan,
keluarga campuran dihadapkan pada pilihan untuk melakukan repatriasi ke Negeri
Belanda. Bagi seorang nyai, ini sebuah dilema: berpisah dengan keluarga inti
atau meninggalkan tanah airnya. Yang mengambil pilihan pertama harus kehilangan
kontak dengan anak-anak Eurasia mereka, sementara yang mengambil pilihan kedua
harus siap menempuh hidup baru di sebuah masyarakat yang sama sekali asing bagi
mereka. Banyak bekas nyai yang memilih ke Belanda kemudian hidup dalam
keterasingan. Akibatnya banyak keturunan Indo yang tak paham asal-usul mereka,
yang menurut Reggie Baay adalah pantulan dari gambaran negatif seorang nyai
yang masih bertahan hingga kini.
Oleh : Siti Hasanah 120110301017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar