Selasa, 18 November 2014

SOAL PEREMPUAN ADALAH SOAL YANG HAMPIR DILUPAKAN



            Ketika berbicara tentang perempuan, saya ingat dengan apa yang pernah Soekarno katakan tentang perempuan bahwa “Soal perempuan adalah soal masyarakat” Yang saya tangkap dari pernyataan Soekarno tersebut, bahwasanya kedudukan perempuan juga penting keberadaannya untuk lebih dijunjung kebebasan berekspresinya, tidak harus dikekang, dipingit, atau dibatasi keberadaannya karena ini sangat berpengaruh pada soal masyarakat. Bagaimanapun juga perempuan adalah penentu moral bagi anak-anak generasi bangsa yang kelak akan menjadi calon pemimpin bangsa. Jadi soal perempuan tidak seharusnya selalu dipandang sebelah mata dan tidak patut untuk dikesampingkan keberadaannya. Mereka punya peranan yang besar dalam membentuk masyarakat.
            Benarkah mengekang ataupun memingit perempuan adalah cara terbaik yang harus dilakukan oleh orangtua ataupun seorang suami ? Saya rasa tidak. Bagaimanapun juga perempuan juga punya hak untuk bisa hidup layaknya laki-laki. Namun selama masih batasan nilai-nilai kodratnya.  Bagaimana perempuan bisa bersama-sama laki-laki sebagai pendampingnya yang diantara mereka pasti punya hubungan timbal balik yang saling membutuhkan. Seperti halnya burung menggunakan kedua sayapnya untuk bisa terbang jauh di angkasa sana, perempuan dan laki-laki seperti halnya sayap-sayap itu, saling melengkapi, saling bekerja sama untuk bisa menggapai puncak tertinggi. Perempuan membutuhkan laki-laki untuk bisa melindunginya, sama halnya laki-laki membutuhkan perempuan untuk mendampinginya. Karena apapun yang ada didunia memanglah sudah kodratnya untuk hidup berpasang-pasangan.

Nyai dalam Kekuasaan Patriarki

“HAMPIR setiap keluarga di Indies memiliki seorang nyai pada generasi sebelumnya, seorang nenek moyang pribumi,” tulis Reggie Baay di bagian akhir bukunya Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. “Tapi masih ada beberapa orang yang tetap diam, seolah-olah kehadirannya memalukan.”
Putri Laurentien, istri Pangeran Constatijn –putra bungsu Ratu Beatrix yang kini memerintah Belanda, tak terkecuali. Darah Indo mengalir dari kakek buyutnya, Peter Schön, seorang kapten kapal, yang hidup dengan seorang nyai bernama Mankam, perempuan pribumi asal Bali. Menurut wartawan Theo Haerkens dalam artikel berjudul “Laurentien Staat Symbol voor Emancipatie Indo”, dimuat di situs http://gpdhome.typepad.com/boeken_royalblognl, status sebagai seorang nyai-lah yang membuat Mankam terbunuh pada 1830. Nyai memiliki citra negatif, yang terutama dilanggengkan oleh karya sastra dan pandangan penguasa koloni atau kolonial masa itu. Padahal kebiasaan seorang lelaki asing mengambil perempuan pribumi bukan hal baru; ia sudah ada sebelum zaman prakolonial. Dalam Being Dutch in The Indies Ulbe Bosma dan Remco Raben mencatat bahwa praktik itu tak bisa dilepaskan dari komunitas pedagang di kota-kota dagang besar di Asia seperti Malaka dan Ayyuthaya. Di Ayyuthaya, sejak abad ke-17, muncul permukiman pendatang sesuai daerah asal mereka: Gujarat, Coromandel, Pegu, Malaka, Jawa, China, Jepang, Portugis, Prancis, dan Belanda. Raja Thailand saat itu membiarkan mereka menerapkan aturan dan hukum mereka di wilayah masing-masing. Terciptalah sistem pemisahan yang oleh Bosma dan Raben disebut legal pluralism
Lazim bagi para pedagang mengambil perempuan lokal sebagai mitra atau teman hidup. Ikatan ini biasanya bersifat sementara; hanya bertahan selama si lelaki tinggal di sana. Tapi, selain memperkenalkan kebiasaan lokal kepada pasangan, para perempuan itu punya peran vital dalam proses perdagangan –biasanya bertindak sebagai perantara. Banyak dari mereka juga pedagang. Di masa awal Asia modern, keturunan mereka seringkali memegang posisi penting di kota-kota itu.